E-Buletin Februari 2020

DEI GRATIA

E-BULETIN BINA TEOLOGI & PRAKTIKA JEMAAT GKA GLORIA

MEMBANGUN KEHIDUPAN KOMUNAL JEMAAT YANG SEHAT:
SEBUAH TEOLOGI MUTUALITAS PAULUS

Oleh: Pdt. Liem Sien Liong

Dalam tulisannya yang berjudul Improving Your Serve [Bandung: Pioner Jaya, 2005] 15-16), Charles R. Swindoll, memaparkan hasil riset tentang kesehatan mental yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health terhadap koloni tikus, yang membuktikan bahwa koloni tikus yang enggan hidup bermutual memiliki implikasi buruk terhadap kelangsungan hidup mereka. Eksperimen tersebut dilakukan dalam kandang berukuran 9 kaki persegi, untuk menempatkan dengan nyaman 160 ekor tikus. Selama 2.5 tahun koloni tikus tersebut berkembang biak menjadi 2200 ekor. Makanan yang melimpah, air, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya terus menerus disediakan, bahkan semua faktor mortalitas (kecuali proses penuaan) telah dihilangkan dari koloni tikus tersebut. Namun apa yang terjadi 2.5 tahun kemudian? Ternyata semua tikus mati. Apakah penyebabnya?

Dr. John Calhoun, seorang ahli riset dalam bidang psikologi, mendapati: Pertama, tikus-tikus dewasa mulai mengelompokkan diri sebanyak dua belas tikus dalam kelompoknya. Kedua, dalam kelompok tersebut, fungsi sosial masing-masing tikus mengalami penyimpangan. Ketiga, tikus jantan yang biasanya menjadi pelindung wilayah mereka, kini menarik diri dari kepemimpinan dan secara tidak wajar menjadi pasif. Keempat, tikus-tikus muda merasa diri mereka tidak memiliki tempat di dalam masyarakat, dan mereka semakin memanjakan diri. Mereka makan, minum, tidur dan mengurus diri sendiri, tetapi tidak memiliki ketegasan sebagaimana biasanya. Kelima, koloni tikus pada akhirnya menjadi kacau, dan setelah lima tahun berlalu, sekalipun tidak ada penyakit, bahkan tersedia banyak makanan, minuman, dan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, namun semua tikus mati.

Dari hasil riset tersebut Swindoll mengkonklusikan bahwa hal serupa sebenarnya sedang terjadi dalam dunia kita masa kini. Masyarakat dunia telah menjadi suatu institusi yang besar dan sibuk, namun di dalamnya tidak terdapat kepedulian antara yang satu dengan lainnya. Masing-masing kita menjadi “orang asing” bagi sesamanya; bahkan sekalipun kita berada di antara keramaian, tetapi kita merasa kesepian. Kita bergerak maju bersama, namun kita tidak saling berhubungan. Tampaknya perihal saling memperhatikan dan berbagi, kini bukan zamannya lagi. Sebaliknya, yang tersisa dari zaman ini hanyalah sikap saling menumpuk kekayaan dan saling pamer (menyombongkan diri). Kita menempati ruang yang sama, tetapi kita tidak memiliki kepentingan yang sama. Orang menyaksikan secara langsung kejahatan terjadi di depan mata mereka, namun mereka tidak mau turun tangan dan terlibat; bahkan nilai-nilai dasar iman kristiani mulai hilang di tengah-tengah zaman yang membingungkan ini.

Jika penilaian Swindoll ini benar, maka pertanyaan yang perlu kita renungkan sebagai jemaat Tuhan adalah, “Apakah nilai-nilai kasih, kepedulian, hidup dalam kerukunan, dan saling memperhatikan antara yang satu dengan lainnya, sudah menjadi gaya hidup kita sebagai umat Tuhan?” Apakah kita justru menjadi “orang asing” bagi sesama jemaat, padahal kita satu gereja? Berapa banyak jemaat yang mengalami kesepian dan kesendirian, tanpa pernah mendapatkan kepedulian dan kasih dari kita? Sejumlah kasus bunuh diri belakangan ini mendorong kita sebagai umat Tuhan agar memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap beban saudara seiman, sehingga mereka mendapatkan kekuatan dan penghiburan dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Tulisan ini tentu tidak serta merta bermaksud menyamakan koloni tikus dengan kehidupan sosial manusia. Namun demikian, riset yang telah dilakukan oleh National Institute of Mental Health (USA) dapat memberikan inspirasi kepada kita, “Bagaimanakah seharusnya kita mengaktualisasikan kehidupan kita sebagai jemaat Tuhan dalam konteks GKA GLORIA? Melalui tulisan ini, marilah kita membangun kehidupan mutualitas Kristiani dengan mendasarkannya pada Galatia 6:1-5. Marilah kita membangun kehidupan komunal jemaat yang berpusat pada kristus, saling berelasi dan berinteraksi secara sehat serta otentik bagi kemuliaan-Nya dan menjadi berkat bagi sesama kita.

PEMIKIRAN PAULUS TENTANG MUTUALITAS BERDASARKAN GALATIA 6:1-5

Untuk memahami pemikiran Paulus tentang mutualitas, kita perlu mengetahui problematika sosial dalam jemaat Galatia. Dalam suratnya kepada jemaat Galatia, Paulus berkata:

Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal sama sekali ia tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri. Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri (Gal. 6:1-5).

Jika kita memperhatikan perkataan Paulus di atas, maka kita akan mengkonklusikan bahwa ia adalah sosok pribadi yang sangat memperhatikan tata kehidupan jemaat Tuhan. Ia bukan hanya mengajarkan doktrin iman Kristen, tetapi juga mengajarkan bagaimana sikap hidup jemaat Tuhan. Salah satunya adalah pola hidup bermutual, yang dituliskannya dalam Galatia 6:1-10. Namun untuk membatasi pembahasan ini, maka penulis hanya memfokuskan diri pada ayat 1-5, yaitu “hidup bermutual sebagai bagian dari implementasi hukum Kristus.”

Paulus menyadari, bahwa setiap orang percaya yang hidup baru dalam Kristus tetap diperhadapkan dengan pertentangan (tension) antara “hidup menuruti keinginan daging” atau “hidup dipimpin oleh Roh Kudus” (Gal. 5:16-26). Implikasi pertentangan tersebut tentunya menegaskan bahwa setiap orang percaya dapat saja terperosok dalam pelanggaran atau jatuh dalam tipu daya dosa (ay. 1). Menurut William Barclay, kata “pelanggaran” (Yun. “paraptoma”) yang ditulis Paulus dalam ayat 1, bukanlah berarti “dosa yang disengaja,” melainkan “ketergelinciran yang dapat saja dialami oleh seseorang di jalan yang licin atau lorong berbahaya yang dilaluinya” (Surat-Surat Galatia & Efesus [Jakarta: Gunung Mulia, 2004] 84]. Herman Ridderbos juga berpendapat, kata “paraptoma” mengandung dosa, tetapi dosa yang tidak di sadari oleh seseorang (The Epistle of Paul to the Church of Galatians [NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1970] 212). Pertanyaannya adalah, “Dosa apakah itu?”

Hal ini nampak tidak begitu jelas. Namun dampak dari pelanggaran ini dapat saja mengakibatkan ketidaksetiaan seseorang terhadap injil. Nampaknya, bagi Paulus, perhatian yang lebih serius dalam jemaat atau anggota gereja Tuhan di Galatia bukan terletak pada “ada tidaknya” atau “berapa jumlah orang yang telah tertipu oleh dosa” (jatuh dalam dosa), melainkan pada “aktualisasi kehidupan baru dalam komunitas jemaat Tuhan yang mengimplementasikan hukum Kristus,” yaitu: “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (ay. 2).

Dalam bahasa Yunani, ayat 2 diawali dengan kata “saling” (“allelon”), sehingga terjemahan literalnya adalah: “Saling bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Menurut Richard Longnecker, kata “saling” yang diletakkan Paulus pada awal kalimat menunjukkan sesuatu yang ditekankan dan penting. Ia berpendapat, ayat ini menjelaskan, “Central to the believers’ new existence in Christ is the concept of mutuality” (Galatians [WBC; Dallas: Word Book, 1990] 273). Demikian pula Barclay menjelaskan bahwa mutualitas sangat penting bagi jemaat Tuhan di Galatia karena persoalan serius yang dihadapi mereka adalah “adanya sikap acuh tak acuh yang membahayakan persekutuan mereka” (Surat-Surat Galatia & Efesus, 274). Itulah sebabnya, Paulus menekankan agar mereka saling tolong menolong, dan bukan membanggakan diri yang disertai sikap tidak peduli terhadap saudara seiman. Sedangkan menurut Leon Morris, kata “memenuhi” (Yun. “anaplerosete”) hukum Kristus” merupakan kata yang tegas, sehingga tuntutan untuk mengimplementasikan hukum Kristus adalah suatu sasaran yang harus dicapai oleh jemaat Tuhan dalam kehidupan mereka (Galatians: Paul’s Character of Christian in Freedom [Downers Grove: Intervarsity, 1996] 178). Jika demikian, apakah “hukum Kristus” itu?

Paulus tidak menjelaskan secara terperinci tentang substansi atau konten dari hukum Kristus ini. Morris berpendapat, hukum Kristus itu menunjuk pada ajaran Yesus dalam Matius 20:25-25 dan Yohanes 13:34, yakni “hukum melayani” (Galatians: Paul’s Character, 179). Longnecker berpendapat, hukum Kristus mengacu pada Galatia 5:13-6:10, sebagai suatu kontra dengan legalistik (hukum) Taurat (Galatians, 275). John R. Stott berpendapat, hukum Kristus mengacu pada sikap saling mengasihi terhadap sesama manusia, seperti yang tertuang dalam Galatia 5:13 dan Yohanes 13:34 (The Message of Galatians [London: Intervarsity, 1968] 158). Sedangkan C. K. Barrett berpendapat, bahwa hukum Kristus tidak dapat dipisahkan dari hukum kasih dalam Galatia 5:13 (Freedom and Obligation: A Study of the Epistle to the Galatians [London: SPCK, 1985] 83).

Dari beberapa pendapat para sarjana tersebut, kita dapat mengkonklusikan, meskipun Paulus tidak merincikan secara teknikal hukum Kristus, tetapi ajaran Kristus, yakni “hukum Kasih,” diidentik dengan hukum Kristus (Gal. 5:13). Jadi, hukum Kristus adalah hukum kasih; dan hukum ini harus menjadi acuan dalam kehidupan bersama sebagai komunitas jemaat Tuhan di Galatia. Persoalannya, bagaimana mereka mengimplementasikannya?

MUTUALITAS SEBAGAI IMPLEMENTASI HUKUM KRISTUS

Dalam pesannya, Paulus menasihatkan agar mereka mengembangkan pola hidup bermutual di antara mereka sebagai bagian dari implementasi hukum Kristus (ay. 2). Mengapa mutualitas menjadi unsur penting dalam membangun kehidupan komunal orang beriman dalam mengimplementasikan hukum Kristus? Jawabnya adalah, karena tidak ada satu orangpun yang imun terhadap tipu daya dosa (ay. 1). Artinya, setiap orang memerlukan orang lain untuk saling menolong dalam berbagi beban. Siapapun kita, kita tidak boleh takabur, merasa kuat atau tidak mau peduli terhadap orang lain. Oleh karena keadaan tersebutlah, maka Paulus menekankan agar mutualitas dimengerti dan dihidupi oleh jemaat Tuhan di Galatia. Jika demikian, apa itu teologi mutualitas menurut Paulus?

Dasar pemikiran Paulus tentang mutualitas tentu saja berkaitan dengan hukum kasih Kristus (ay. 2), yakni sebagaimana Kristus telah merelakan diri-Nya disalib demi keselamatan jemaat Galatia dan kelepasan mereka dari perbudakan dosa maupun hukum Taurat, maka hal ini adalah sesuatu yang reasonable apabila mereka hidup sama seperti yang Kristus telah perbuat bagi mereka (bdk. Rm. 15:1-5; Fl. 2:1-11). Dengan kata lain, mereka wajib saling tolong menolong dalam menanggung beban. Di sini mutualitas berarti “a reciprocal Christian Relationships” (suatu relasi timbal balik yang bersifat Kristiani).

Berdasarkan nasihat Paulus kepada jemaat Tuhan di Galatia, unsur penting dalam mutualitas adalah adanya sikap mutual (saling) yang harus dikembangkan dalam pola hidup mereka. Pola ini bukan hanya sebagai wacana dalam pemikiran mereka, tetapi sebagai komitmen dan sikap yang harus diimplementasikan dalam tata kehidupan mereka. Ini berarti mutualitas menolak keegoisan atau sebagai kontra dari narsisisme (Gal. 6:1).

Paulus tampaknya memperhatikan bahwa persoalan narsisme, yaitu mementingkan diri dan menilai diri sendiri lebih baik daripada orang lain, menjadi hambatan bagi jemaat Tuhan untuk mengaktualisasikan hukum Kristus. Mereka yang bersikap narsis lebih cenderung memperhatikan diri sendiri dan kurang peduli terhadap kelemahan atau beban orang lain. Kencendurungan ini tentu saja berimplikasi buruk pada pertumbuhan sosial komunal jemaat Tuhan di Galatia. Akibatnya, muncullah persaingan yang tidak sehat di antara mereka, sehingga hal ini mengancam kesatuan jemaat Tuhan. Perhatikan perkataan Paulus:

“Tetapi jika kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan . . . Janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki (Gal. 5:15, 26).

Berdasarkan kondisi ini, Paulus memperhatikan bahwa persoalan yang dihadapi jemaat Tuhan di Galatia bukan saja berasal dari luar koloni saja (seperti pengaruh Yudaisme atau gnostikisme), tetapi juga dari dalam komunitas jemaat itu sendiri. Di dalam jemaat Tuhan terdapat sejumlah orang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, sehingga mereka lebih suka membanggakan diri sendiri daripada berusaha menolong orang lain. Jika kondisi ini tidak diperhatikan secara serius oleh jemaat Tuhan, maka “kehancuran” komunitas jemaat Tuhan tidak dapat dielakkan lagi. Paulus sangat mengerti kondisi ini. Karena itu, ia menasihatkan supaya setiap jemaat Tuhan tidak mengutamakan kepentingan dan keegoisan diri sendiri, melainkan hidup dalam mutualitas yang sehat sesuai hukum Kristus. Hidup yang bermutual akan mendorong seseorang untuk berbagi dengan sesamanya, tanpa adanya tendensi diri untuk mencari keuntungan atau pujian. Di sini mutualitas menekankan sikap rela berkorban demi kebaikan dan kemajuan orang lain. Paulus mengatakan:

Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan” (Gal. 6:1).

Kata “memimpin” (Yun. “katartizo”) dalam kalimat di atas, memiliki arti “usaha atau tindakan seseorang guna mereparasi sesuatu, supaya sesuatu itu dapat kembali menjadi seperti semula” (Longnecker, Galatians, 273); atau seperti “seorang ahli bedah yang sedang menyambung bagian tubuh yang patah supaya bagian tubuh tersebut kembali seperti kondisi semula” (Barclay, Surat-surat Galatia & Efesus, 84). Jika kita memperhatikan nasihat Paulus tersebut, maka kita akan mengerti bahwa tujuannya menggunakan kata “katartizo” tersebut supaya setiap jemaat Tuhan tidak mementingkan atau mengutamakan dirinya sendiri, melainkan rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk menolong (merestorasi) kelemahan/beban orang lain demi kebaikan dan kemajuannya.

Demikian pula, kata “katartizo” yang dipakai oleh Paulus berbentuk present active imperative (“katartizete”), yang berarti bahwa kata tersebut menjelaskan tentang usaha merestorasi atau menolong orang lain (saudara seiman) adalah suatu perintah yang harus dilakukan oleh orang percaya, tanpa adanya peluang untuk memilih (opsi) dalam pelaksanaannya. Artinya, tindakan merestorasi tersebut tidak berdasarkan pada suatu pilihan (selera) atau adanya unsur balas jasa, antara yang tertolong dan si-penolong. Sebaliknya, tindakan merestorasi tersebut dilakukan bagi semua saudara seiman sebagai sebuah panggilan. Tindakan merestorasi tersebut dilakukan berdasarkan hukum kasih Kristus (ay. 2), yaitu sebagaimana Kristus telah memberikan nyawanya demi keselamatan jemaat-Nya, maka setiap jemaat-Nya wajib saling tolong menolong. Jadi, tindakan merestorasi orang lain (saudara seiman) merupakan tugas yang bersifat wajib bagi setiap jemaat Tuhan. Tindakan tersebut dilakukan demi kebaikan dan demi kemajuan rohani orang lain (saudara seiman).

Selain itu, Paulus juga mengingatkan kepada mereka bahwa tugas merestorasi tersebut tidak dilakukan dengan ceroboh, melainkan harus diikuti dengan sikap lemah lembut, yang berorientasi pada kebenaran dan menjaga diri sendiri, supaya tidak jatuh dalam pencobaan (ay. 1). Paulus perlu menyertakan nasihat ini karena mereka yang menolong orang lainpun tidak luput dari tipu daya dosa, yaitu “kesombongan” atau “membanggakan diri sendiri” (bdk. ay. 3). Apabila mereka tidak menjaga diri untuk tetap dalam kasih Kristus, maka orientasi menolong atau merestorasi kelemahan saudara seiman bukan memimpinnya kepada kebenaran, tetapi pada pemujaan diri si-penolong (man’s glorification oriented, not God’s truth oriented). Karena itu, Paulus menasihatkan agar mereka memiliki sikap lemah lembut, berorientasi pada kebenaran, dan menjaga diri sendiri supaya mereka tidak jatuh dalam pencobaan. Dengan kata lain, sikap tersebut adalah sebuah peringatan yang perlu diperhatikan secara serius.

Selain sikap mutual yang menjadi perhatian Paulus dalam membangun kehidupan komunal jemaat Tuhan di Galatia, sikap konstruktif juga menjadi penekanannya. Kata “katartizo” yang digunakan oleh Paulus tidak saja mengandung arti “memperbaiki,” atau “memimpin,” tetapi juga menekankan suasana “tidak menghakimi” (Barclay, Surat-surat Galatia & Efesus, 84). Di sini Paulus menyadari, bahwa kelemahan atau kejatuhan seseorang dalam dosa akan memunculkan “penghakiman” atau “penilaian yang buruk terhadap diri orang yang bersangkutan.” Kecenderungan ini muncul karena adanya sekelompok jemaat Tuhan yang seringkali beranggapan bahwa dirinya lebih berarti atau lebih bernilai daripada orang lain (bdk. ay. 3). Akibatnya, perselisihan dan persaingan yang tidak sehat tidak dapat dihindarkan dari komunitas jemaat Tuhan. Mereka saling menantang dan mendengki antara yang satu dengan yang lainnya (Gal. 5:26).

Sikap membanggakan diri sendiri merupakan awal dari munculnya “penghakiman” atau penilaian yang buruk terhadap orang lain. Ini berarti penilaian terhadap diri sendiri akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap orang lain (Stott, The Message of Galatians, 159). Paulus tentu saja tidak melarang seseorang “berbangga” terhadap hasil kerjanya (ay. 4), tetapi kebanggaan diri yang tidak menyadari akan anugerah Allah di dalamnya dan “membanggakannya” di atas kelemahan orang lain, akan menimbulkan sikap arogansi, yang pada akhirnya merusak komunitas jemaat Tuhan. Paulus tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi dalam kehidupan mereka. Ia mengharapkan bahwa sebagai komunitas jemaat Tuhan, kebanggaan terhadap hasil kerja atau diri sendiri bukanlah prioritas utama mereka. Sebaliknya, sikap yang bersedia menolong orang lain demi kemajuan dan kebaikannya merupakan esensi dari aktualisasi hukum Kristus yang harus mereka kerjakan.

Selain itu, perkataan Paulus : “Apabila seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka “kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar” dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan” (ay. 1), mengandung pengertian yang sangat signifikan bagi aktualisasi hukum Kristus. Dalam kalimat ini, frase “kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar” mengindikasikan bahwa usaha seseorang untuk menolong orang lain harus dilakukan dengan langkah yang benar, yaitu: motif, cara, dan tujuan yang benar.

Motif yang benar

Pemakaian kata “kamu yang rohani” (“humeis hoi pneumatikoi”) oleh Paulus seringkali oleh beberapa sarjana dimengerti sebagai nasihat yang mengandung sebuah ironi (Barret, Freedom, 79; Longnecker, Galatians, 273). Namun apabila hal ini diperbandingkan dengan adanya kesejajaran pemakaian kata “dipimpin oleh Roh” atau “menerima Roh” karena mereka percaya kepada Yesus Kristus, maka kata tersebut sebenarnya menjelaskan tentang status dan fungsional orang percaya, yaitu “manusia rohani yang dipimpin oleh Roh Kudus harus hidup sesuai dengan statusnya.” Ini berarti kata “kamu yang rohani” menjelaskan bahwa motif yang mendorong seseorang untuk menolong orang lain, bukan karena ia lebih baik atau lebih berarti daripada orang tersebut, melainkan karena status dan fungsionalnya sebagai orang percaya. Dengan kata lain, setiap orang percaya (yaitu mereka yang telah hidup baru dalam Kristus serta hidup di bawah pimpinan Roh Kudus) wajib peduli dan menolong saudaranya yang berbeban. Kewajiban ini mempertegas bahwa setiap jemaat Tuhan, ketika menolong sesamanya harus didasarkan pada motif yang benar, yaitu menolong sebagai bagian dari aktualisasi status dan fungsionalnya sebagai anggota tubuh Kristus.

Cara yang benar

Selain menjelaskan tentang motif yang benar, Paulus menegaskan bahwa monolong beban saudara seiman harus dilakukan dengan cara yang benar. Kata “harus memimpin” (“katartizete”) yang mengandung arti “memperbaiki” mengindikasikan bahwa beban atau masalah yang dialami oleh saudara seiman perlu diselesaikan atau dicarikan way out-nya; dan beban tersebut menjadi fokusnya. Artinya, beban atau permasalahan yang dialami oleh seseorang harus dipecahkan, dan bukan “memecahkan” (menghancurkan) pribadi orang yang bersangkutan.

Paulus tampaknya menyadari bahwa sikap seseorang yang menilai dirinya lebih baik dari orang lain akan memunculkan persaingan yang tidak membangun iman. Kondisi seperti ini ternyata telah merasuki jemaat Tuhan di Galatia (lih. Gal. 5:15). Mereka tidak memecahkan masalah atau beban yang dihadapi oleh saudara seiman, tetapi sebaliknya mereka justru “memecahkan” (merusak) perasaan dan pribadi saudaranya. Karena itu, penggunaan kata “katartizete” oleh Paulus menegaskan bahwa suatu tindakan menolong atau memperbaiki harus dilakukan dengan cara yang benar, yaitu mencari pemecahan masalah atau beban, dan bukan “memecahkan” (merusak, menjatuhkan, atau memanipulasi) pribadi yang bersangkutan.

Tujuan Yang Benar

Selain motif dan cara yang benar, Paulus menghendaki bahwa usaha menolong orang lain harus dilandaskan pada tujuan yang benar. Dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kata “katartizete” diterjemahkan menjadi “harus memimpin . . . [orang itu] . . . ke jalan yang benar” (ay. 1). Kata “ke jalan yang benar” dalam teks aslinya tidak ada. Namun demikian penambahan kata tersebut sebagai suatu penjelasan dan memberikan signifikansi terhadap “tujuan memimpin.” Hal ini mengindikasikan bahwa kata “katartizete” tidak hanya menjelaskan tentang menolong dengan cara yang benar, tetapi juga menegaskan bahwa seseorang harus menolong orang lain dengan tujuan atau arah yang banar.

Paulus tampaknya menyadari adanya beberapa jemaat Tuhan yang kemungkinan telah terpengaruh oleh ajaran yang tidak sehat. Mereka cenderung menolong seseorang demi keuntungan diri sendiri. Mereka tampak “menolong” saudara seiman, tetapi sebenarnya mereka hanya mencari pujian dan keuntungan bagi diri sendiri (bdk. Gal. 6:13). Hal ini tentu saja tidak dikehendaki oleh Paulus. Karena itu, ia menasihatkan bahwa usaha menolong beban atau permasalahan orang lain harus didasarkan pada tujuan yang benar, yaitu demi kebaikan dan kemajuan rohaninya, bukan untuk mencari pujian atau keuntungan bagi diri sendiri (self-glorification).

Dari deskripsi di atas kita dapat mengkonklusikan bahwa mutualitas yang dikehendaki oleh Paulus dalam kehidupan jemaat Tuhan adalah bersifat konstruktif, di mana seseorang menolong saudara seiman tidak berdasarkan pada pamrih atau tendensi untuk mencari pujian dan keuntungan pribadi. Sebaliknya, seseorang menolong saudara seimannya didasarkan pada status dan fungsionalnya sebagai pribadi yang telah “hidup baru di dalam Kristus” dan “hidup di bawah pimpinan Roh Kudus.” Dengan kata lain, menolong atau merestorasi kelemahan dan beban saudara seiman adalah tugas dan kewajiban yang harus dilakukan sebagai bagian dari aktualisasi hukum Kristus. Tugas dan kewajiban ini dilakukan demi kebaikan dan kemajuan saudara seiman (sehat iman), dan bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan diri sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa “merestorasi” menjadi ciri yang unik dari teologi mutualitas Paulus dalam membangun kehidupan komunal jemaat Tuhan.

Terakhir, menurut Paulus, mutualitas harus diikuti dengan pola partnership (kerekanan). Artinya, mutualitas tidak bersifat diskriminatif, melainkan bersifat kebersamaan dan bersifat kontributif (Gal. 6: 3-4; bdk. Gal. 5:26). Mutualitas mendorong seseorang untuk tidak mengenakan superioritas dan inferioritas dalam hubungannya dengan orang lain. Stott mengatakan: “Human friendship, in which we bear one another’s burdens, is part of the purpose of God for His people” (The Message of Galatians, 158). Perkataan Stott tersebut menegaskan bahwa mutualitas harus bersifat kerekanan atau friendship, bukan diskriminatif.

Paulus tentu saja tidak mengabaikan jabatan struktural dalam berjemaat sebagai bagian dari tuntutan oraganisasi. Namun demikian, jabatan struktural tidak dimaksudkan untuk menjadikan seseorang berbangga diri dan merendahkan atau mendeskreditkan orang lain. Sebaliknya, jabatan struktural menjelaskan status dan fungsi tugas yang dipakai (secara organisatoris) untuk melayani dan menolong orang lain (bdk. Mat. 20:25-28; Mrk. 10:45; Fl. 2:19-25). Ini berarti, status dan fungsional orang percaya (lih. bagian atas) lebih diutamakan untuk menata kehidupan jemaat Tuhan daripada berbangga diri karena jabatan strukturalnya. Mengapa Paulus menekankan kerekanan dalam teologi mutualitasnya?. Paulus mengatakan :

. . . kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar . . . (ay.1). Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (ay. 2). . . . Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri (ay. 5).

Alasan Paulus menekankan perlunya kerekanan dan menolak sikap diskriminatif adalah: pertama, kata “seseorang” (Yun. “anthropos”) yang dipakai oleh Paulus dalam tulisannya (ay. 1) tidak menggunakan definite article. Hal ini menjelaskan bahwa “setiap orang percaya memiliki potensi untuk jatuh dalam kesalahan/dosa karena kelemahannya.” Kedua, perkataan Paulus di atas (ay.2) mengindikasikan bahwa setiap orang percaya, termasuk mereka yang memiliki jabatan struktural dalam gereja maupun jemaat awam, adalah anggota tubuh Kristus yang memiliki status dan fungsional yang sama dalam melaksanakan hukum Kristus. Di sini frase “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu” (ay. 2), dan frase “tiap-tiap orang memikul tanggungannya sendiri” (ay. 5), bukanlah dua frase yang berkontradiksi. Sebaliknya, keduanya memperjelas nasihat Paulus bahwa setiap jemaat Tuhan adalah partner (rekan) bagi saudara seimannya, sebab tidak ada seorangpun yang imun terhadap kelemahan atau dosa. Benarkah setiap orang percaya adalah partner bagi saudaranya? Apakah hal ini membuktikan bahwa Paulus sangat menekankan kerekanan dalam kehidupan mereka?

Paulus menggunakan dua kata yang berbeda dalam ayat 2 dan ayat 5, tetapi ada kalanya keduanya diterjemahkan dengan kata yang sama yaitu “beban,” yang dalam bahasa Inggris memakai kata “burden” (lih. KJV). Kata “beban” (ay. 2) dalam bahasa aslinya memakai kata “baros,” sedangkan kata “tanggungan” (ay. 5) dalam bahasa aslinya memakai kata “phortion.” Jika kita memperhatikan pemikiran Paulus, maka kedua kata Yunani tersebut dapat saja diterjemahkan dengan kata yang sama, yaitu “beban” (KJV. burden). Namun jika kita memperhatikan konteks nasihatnya, maka kedua kata tersebut memiliki perbedaan deskripsi. Artinya, meskipun keduanya menjelaskan posisi yang sama, tetapi memiliki keterangan konteks yang berbeda.

Kata “baros” dalam ay. 2 yang diterjemahkan dengan kata “beban” (LAI) lebih mengandung arti “bobot” beban atau masalah, sedangkan kata “phortion,” meskipun berkaitan dengan beban (LAI, tanggungan), namun kata tersebut lebih mengandung arti “kapasitas” seseorang dalam menanggung beban. Itulah sebabnya ay. 2 dan 5 tidak berkontradiksi, melainkan memperjelas pemikiran Paulus bahwa partnership sangat penting dalam kehidupan bersama, sehingga mereka dapat saling tolong menolong dalam menanggung beban (lih. Alan Cole, Galatians [TNTC; Grand Rapids: Eerdmans, 1989] 227).

Jika analisa ini benar, maka kedua ayat tersebut dapat dikonklusikan sebagai berikut: setiap orang pasti memiliki kapasitas atau kemampuan untuk menanggung bebannya sendiri. Namun pada tingkatan tertentu beban dirinya sendiri tidak dapat ditanggungnya lagi; karena ia hanya memiliki suatu ukuran atau porsi (phortion) tertentu dalam menanggung bebannya. Ini berarti, setiap orang memiliki kapasitas beban yang dapat ditanggungnya sendiri (ay. 5). Namun karena tingkatan porsinya terbatas, maka setiap orang harus saling tolong menolong dalam menanggung bebannya.

Dengan kata lain, kerekanan (partnership) dalam teologi mutualitas Paulus lebih menekankan unsur kontributif (menolong atau melakukan sesuatu) demi kebaikan dan kemajuan saudara seiman. Kerekanan tersebut tidak didasarkan pada hubungan superioritasinferioritas, atau senioritasyunioritas, melainkan pada: pertama, adanya kesadaran bahwa diri sendiri memiliki keterbatasan dan kelemahan yang perlu ditolong oleh orang lain. Kedua, adanya kesediaan atau keterbukaan diri untuk menerima saran dan nasihat dari orang lain. Ketiga, adanya kerelaan menolong orang lain tanpa pamrih. Keempat, kerekanan dilakukan dengan motif, cara dan tujuan yang benar.

Dari seluruh deskripsi pemikiran Paulus di atas dapat dikonklusikan bahwa teologi mutualitas adalah teologi praktis tentang bagaiman kita membangun kehidupan komunal jemaat Tuhan, dimana di dalamnya setiap individu mengaktualisasikan kasih Kristus (hukum Kristus) melalui kerjasama saling membangun dan menolong dalam iman antara yang satu dengan lainnya, tanpa mencari kesalahan orang lain, menghakimi, atau mencari pujian bagi diri sendiri.

PANDANGAN TEOLOGIS PAULUS TENTANG MUTUALITAS & RELEVANSINYA
DALAM MEMBANGUN KEHIDUPAN KOMUNAL JEMAAT TUHAN MASA KINI

Setelah kita memahami teologi mutualitas Paulus dalam surat Galatia 6:1-5, apakah yang perlu kita pikirkan dan lakukan dalam relasi kita dengan saudara seiman? Di tengah maraknya kasus bunuh diri, kesepian dan kesendirian jemaat, sekalipun mereka berada di tengah keramaian; mereka beribadah bersama-sama dengan kita, namun kita justru menjadi orang asing bagi mereka; maka kita perlu self-critical (introspeksi diri). “Apakah kita sebagai jemat Tuhan sudah melakukan hukum Kristus?” Atau sebaliknya kita sama seperti koloni tikus yang menyendiri dan terasing satu dengan lainnya, sehingga pada ahirnya kita mengalami kerugian sebagai komunitas umat Tuhan?

Jika kita mengerti nasihat Paulus tersebut, maka kita akan mengetahui bahwa hidup bermutual merupakan salah satu keunikan dari pola hidup anak-anak Tuhan. Jika kita sebagai “koloni” jemaat Tuhan mengimplementasikan hukum Kristus dengan cara hidup bermutual yang tepat, maka kita akan merasakan realita kesatuan dengan saudara seiman sebagai bagian dari anggota tubuh Kristus, walaupun kita memiliki latar belakang strata sosial, budaya, pendidikan yang berbeda.

Mutualitas merupakan pola hidup anak-anak Tuhan yang menekankan nilai-nilai kasih dan kepedulian terhadap “beban atau persoalan saudara seiman.” Mutualitas membangun mentalitas “melayani” dan bukan “dilayani.” Karena itu, hukum kasih Kristus merupakan pola hidup anak-anak Allah dalam kerajaan-Nya di dunia ini. Ini berarti, ketika kita melihat saudara seiman jatuh di dalam dosa atau berbeban berat, hal ini tidak serta merta membuat kita mengucilkan atau memusuhinya, tanpa adanya kepedulian dan kasih terhadapnya (restorasi). Sebaliknya, kejatuhannya adalah kesedihan dan beban kita untuk memperhatikan dan menolongnya, sehingga ia memperoleh pemulihan dan pertumbuhan rohani yang baik seperti semula. Tindakan menolong sudara seiman tersebut tentu saja tidak diikuti dengan motif mencari keuntungan atau pujian bagi diri sendiri, atau dilakukan karena like or dislike, tetapi karena status dan fungsional orang percaya sebagai anggota tubuh Kristus yang mengaktualisasikan hukum Kristus. Sikap ini mencerminkan keunikan koloni jemaat Kristen yang telah hidup baru di dalam Kristus.

Dengan kata lain, mutualitas menegakkan “kasih di dalam kebenaran” dan “kebenaran di dalam kasih,” sehingga seseorang yang menasihati atau menolong orang lain akan berusaha menegakkan kedisiplinan tanpa kehilangan kasih, dan memberikan kasih tanpa menghilangkan kedisiplinan. Demikian pula hal ini mengingatkan kepada kita bahwa, ketika kita menasihati atau menolong orang lain, sebenarnya kita sedang menasihati dan menolong diri sendiri; sebab dengan menasihati atau menolong orang lain, kita menyadari bahwa kita juga membutuhkan nasihat dan pertolongan dari pihak lain. Dengan demikian, kita tidak akan pernah membanggakan diri karena kelemahan orang lain, sebaliknya kita akan hidup bermutual, saling tolong menolong dalam menanggung beban kita. Perkataan Paulus: “Saling bertolong-tolonglah menanggung bebanmu” merupakan cara yang tepat bagaimana kita mengimplementasikan hukum Kristus; serta membangun kehidupan komunal jemaat Tuhan yang sehat. Soli Deo Gloria!