GRATIA DEI
BULETIN TEOLOGI & PRAKTIKA JEMAAT GKA GLORIA
WASPADA COVID-19
Menyikapi Covid-19 yang terjadi di negara kita, pemerintah telah merespons dengan cepat dan mengambil tindakan yang tepat. Mengatasi penyebaran Covid-19 pemerintah telah mengambil keputusan social-distancing, sehingga pada satu sisi, masyarakat masih dapat beraktivitas sekalipun terbatas; namun di sisi lain masyarakat wajib melakukan jaga jarak sosial untuk menghambat atau mengurangi penyebaran Covid-19.
Implikasi dari kebijakan ini tentu saja mempengaruhi banyak aktivitas, baik ekonomi, dunia kerja sehari-hari, maupun aktivitas religi, khususnya pelaksanaan peribadatan jemaat yang bersifat komunal dalam gedung gereja.
Bagaimana kita menyikapi hal ini? Apakah social-distancing akan meniadakan ibadah jemaat secara fisik-komunal? Bagaimana pandangan dan sikap kita terhadap tele-ibadah atau ibadah online sebagai sebuah alternatif ibadah di tengah-tengah pandemi global Covid-19?
Merespon kebijakan ini, banyak pemimpin gereja memutuskan untuk menjalankan tele-ibadah atau ibadah online (live streaming). Misalnya, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia atau PGI telah menyerukan kepada gereja-gereja anggotanya untuk menjalankan tele-ibadah atau ibadah di rumah selama batas waktu tertentu, yang disesuaikan peraturan pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Sebagai anggota PGI, GKA Gloria juga merespons seruan tersebut secara positif sebagai bagian dari panggilan pastoral gerejawi terhadap jemaat dan dukungan terhadap kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi global Covid-19 di Indonesia, khususnya di kota Surabaya.
TELE-IBADAH
Virus corona atau yang disebut Covid-19 telah menjadi pandemi global dunia. Penyebarannya yang begitu cepat dan menimbulkan banyak korban telah membuat lembaga kesehatan dunia (WHO) mendesak banyak negara untuk menerapkan “social-distancing” (menjaga jarak interaksi sosial) hingga “lockdown” (mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah atau menutup interaksi sosial masyarakat). Tujuannya adalah untuk mengurangi dan menghambat penyebaran Covid-19 selama vaksin atau obat untuk virus tersebut belum diketemukan.
Ilustrasi : Tele-Ibadah
Apakah ibadah Komunal “terbelenggu” karena Social-Distancing?
Ilustrasi : Ibadah Social Distance
Namun pertanyaannya adalah, apakah usaha yang baik dari social-distancing guna menghambat laju penyebaran Covid-19 akan membelenggu kita beribadah kepada Tuhan secara komunal atau berjemaah?
Tentunya hal ini kembali kepada bagaimana kita menghayati ibadah. Apakah ibadah itu bergantung pada tempat dan lokasi atau sebaliknya ibadah itu melampaui tempat dan lokasi, sekalipun kita tidak mengabaikan manfaatnya.
Untuk menjawab persoalan ini, maka kita perlu kembali kepada ajaran Tuhan Yesus dan tulisan rasuli, khususnya terkait dengan ibadah komunal. Teks Alkitab yang akan menjadi perenungan dan pembahasan untuk masalah ini terambil dari Injil Yohanes 4:21-24 dan Ibrani 10:25.
YOHANES 4:21-24.
Ketika Tuhan Yesus merespons terhadap konsep ibadah perempuan Samaria yang berpaku pada soal tempat ibadah, Ia berkata: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (ay. 21).
Tetapi juga Horizontal
Demikian pula Tuhan Yesus menegaskan: “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian” (ay. 23).
Dalam komentarinya (BECNT), Andreas J. Kostenberger menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Tuhan Yesus menegaskan tibanya waktu, yakni waktu ketika Yesus dimuliakan di atas kayu salib sampai pada kedatangan-Nya kembali, bahwa ibadah kepada Allah tidak dibatasi pada soal tempat atau lokasi, melainkan ibadah di dalam roh dan kebenaran.
Mengapa ibadah Kristiani, soal utamanya, bukanlah soal tempat atau lokasi tertentu, melainkan dikerjakan “di dalam roh dan kebenaran?”
Tuhan Yesus menjelaskan kepada perempuan Samaria, alasannya adalah karena “Allah itu Roh” (ay. 24); Ia tidak terbatasi oleh ruang maupun waktu dan ibadah kepada-Nya diselenggarakan dalam roh dan kebenaran.
Konsep inilah yang nampaknya gagal dipahami oleh perempuan Samaria: (1) bahwa Allah itu Roh, dan bukan material being. (2) Karena Allah itu Roh yang tidak terbatasi tempat dan waktu, maka beribadah kepada-Nya tidak dibatasi oleh tempat maupun tertentu. (3) Ibadah yang dikehendaki Bapa adalah ibadah yang diselenggarakan dalam roh dan kebenaran.
Dalam komentari Injil Yohanes (PNTC), D. A. Carson menjelaskan, ibadah yang berkenan kepada Bapa adalah ibadah yang trinitarian, ibadah yang terjadi di dalam Yesus (Sang Kebenaran) dan di dalam Roh Kudus; atau menurutnya, jika frase “di dalam roh dan kebenaran” merujuk pada kesatuan kata, yakni “roh kebenaran” sebagaimana yang terdapat dalam Injil Yohanes, maka ibadah yang dikehendaki Bapa adalah ibadah di dalam Roh Kudus yang menyatakan kebenaran tentang Tuhan Yesus, Sang Kebenaran. Itulah sebabnya ibadah yang berkenan kepada Bapa terhubung dengan Pribadi-pribadi Allah Tritunggal, Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Hal serupa juga dikatakan oleh Konstenberger, bahwa dalam Injil Yohanes kedua kata “roh” dan “kebenaran” dapat merujuk pada Roh Kudus. “The terms “spirit” and “truth” are joined later in the expression “Spirit of truth,” referring to the Holy Spirit (see 14:17; 15:26; 16:13; cf. 1 John 4:6; 5:6; see also 2 Thess. 2:13). Though this may have been too advanced for the Samaritan woman, the present reference therefore seems to point John’s readers ultimately to worship in the Holy Spirit. Thus, true worship is not a matter of geographical location (worship in a church building), physical posture (kneeling or standing), or following a particular liturgy or external rituals (cf. Matt. 6:5–13); it is a matter of the heart and of the Spirit (Talbert 1992: 115).
As Stibbe (1993: 64) puts it, “True worship is paternal in focus (the Father), personal in origin (the Son), and pneumatic in character (the Spirit).” Jika ibadah Kristiani itu, soal utamanya bukanlah tempat atau lokasi; apakah ini berarti kita tidak perlu lagi memakai gedung gereja sebagai tempat beribadah bersama dengan saudara-saudara seiman? Ataukah ibadah itu dapat dikerjakan sendirian di rumah, tanpa perlu persekutuan dengan saudara seiman di gedung gereja?
Tentu saja tidak demikian !!!
Hakikat ibadah Kristiani itu bukan hanya yang bersifat vertikal, yaitu relasi kita dengan Allah, tetapi juga bersifat horizontal, yakni Persekutuan kita bersama saudara seiman.
IBRANI 10:25
Dalam teks ini dituliskan demikian: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
Tetapi juga Horizontal
Konteks Ibrani 10 sesungguhnya menegaskan bahwa korban yang dilakukan Kristus di atas kayu salib adalah korban yang sempurna dan melebihi korban-korban penebusan dosa yang dilakukan dalam Perjanjian Lama, bahkan korban Kristus dilakukan sekali untuk selama-lamanya. Korban itulah yang membawa jemaat diperkenan menghampiri Allah dan bersekutu dengan-Nya.
Dari konteks Ibrani 10 ini kita dapat mengetahui bahwa ibadah Kristiani bukanlah perdebatan soal tempat seperti yang dipikirkan perempuan Samaria atau Bait Allah di Yerusalem, yang kemudian di hancurkan oleh Jenderal Titus pada tahun 70 M. Ibadah kita berkenan karena pengorbanan Kristus.
“JANGANLAH KAMU MENJAUHKAN DIRI DARI PERTEMUAN IBADAH KITA”
Apa yang mendorong penulis Ibrani mendesak jemaat untuk tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah mereka? Jika ibadah itu hanya urusan personal atau relasi seseorang dengan Allah, lalu mengapa pertemuan bersama secara fisik-komunal itu menjadi perhatian penulis Kitab Ibrani?
Pertemuan-pertemuan ibadah secara fisik-komunal dalam konteks gereja rasuli nampaknya sudah mejadi karakteristik ibadah Kristiani sejak semula. Sekalipun mereka tidak terikat pada tempat dan lokasi tertentu, namun mereka tetap menghargai pertemuan fisik-komunal di antara orang percaya. Mereka dapat berkumpul di Bait Allah (Kis. 2:46), di gereja rumah. atau di rumah-rumah jemaat yang dilakukan secara bergilir sesuai waktu yang mereka telah tentukan (Ibr. 10:25).
Pertemuan-pertemuan ibadah tersebut memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbagi kasih dan saling menguatkan dalam iman, terutama pada saat mereka menghadapi ajaran sesat dan penganiayaan. Melalui pertemuan itu “kawanan domba Allah” atau jemaat Tuhan dapat dikuatkan, dihiburkan serta terpelihara iman mereka di jalan Tuhan.
Inti dari pertemuan itu tentu bukan sekedar perkumpulannya (hadir dalam perkumpulan ibadah belaka), tetapi mereka saling melakukan kebaikan, saling menguatkan dan saling menasihati. Itulah manfaat dan pentingnya pertemuan-pertemuan jemaat, ketika mereka teraniya dan menghadapi ajaran sesat.
Jadi pertemuan ibadah, bukan soal ibadah saja, atau kumpul-kumpul belaka, tetapi juga menjadi juga wadah untuk berbagi kasih dan saling menguatkan satu dengan lainnya.
IBADAH BUKAN SOAL PERKUMPULAN BELAKA, TETAPI AKSI NYATA
William L. Lane menjelaskan: “The reason the meetings of the assembly are not to be neglected is that they provide a communal setting where mutual encouragement and admonition may occur” (Word Bible Commentary, Vol. 47b, Hebrew 9-13, 1989). Demikian pula Donal A. Hagner mengatakan: “The way in which the readers can manifest their concern for one another is through active participation in fellowship, on the one hand, and through mutual encouragement, on the other. Christians need each other, and especially in trying circumstances” (Hebrew: Understanding the Bible Commentary Series, 1990). Dengan kata lain, melalui pertemuan ibadah secara fisik-komunal tersebut, jemaat memiliki kesempatan untuk berbagi, menasihati dan saling menguatkan secara langsung.
Sekarang, bagaimana penghayatan ibadah kita ini dalam konteks social distancing yang diterapkan oleh pemerintah demi memutus rantai penyebaran pandemi global Covid-19?
Saat ini, tele-ibadah sesungguhnya merupakan wujud dari geliat ibadah sejati yang tidak pernah berhenti. Artinya, di tengah-tengah social-distancing, kita masih dapat beribadah bersama-sama walupun beda ruang dan lokasi. Ingat bahwa ibadah kepada Allah tidak dibatasi oleh ruang dan lokasi. Namun perlu ingat pula, tele-ibadah bukanlah pengganti bagi pertemuan-pertemuan ibadah yang dicatat dalam Ibrani 10:25, tetapi sebuah alternatif ibadah yang baik di tengah-tengah pandemi global Covid-19. Karena itu, kelak ketika pandemi global Covid-19 ini telah berhenti, jangan kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah secara fisik-komunal di gedung gereja, sebab kita membutuhkan wadah bersama dimana kita dapat berkumpul sebagai kawanan domba Tuhan, saling berbagi kasih dalam aksi yang nyata dan bukan dalam dunia maya. Untuk ke depannya, tele-ibadah tentu memiliki manfaat nyata bagi mereka yang berkebutuhan khusus, yang tidak dapat menghadiri pertemuan ibadah. Namun jangan biarkan mereka sendirian, karena ibadah sejatinya, bukan hanya relasi kita dengan Allah, tetapi tindakan nyata kasih dan kepedulian kita bagi saudara seiman.
APAKAH ANDA PENYEMBAH SEJATI ?
SOROTAN
Worship is a verb. It’s something we do,
not something we merely watch or listen to.