Selasa, 19 Maret 2024
“Jawab Yesus kepada mereka: ‘Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.’” (Markus 2:19)
Pembahasan: Markus 2:19 | Ayat Bacaan: Markus 2:18-20
Dalam tradisi Yahudi, puasa merupakan ekspresi berkabung karena kehilangan seseorang atau sesuatu (1Sam. 31:13;2Sam. 1:12), selain adalah ekspresi kesedihan, pertobatan, dan penyesalan dosa (Mat. 6:16). Sementara itu, dalam pesta pernikahan, biasanya ada banyak makanan, anggur, nyanyian, tarian dan sukacita, baik di rumah maupun di jalanan. Tentu dalam pesta pernikahan, ketika mempelai bersama mereka untuk bersukacita, tidak ada yang puasa. Puasa menggambarkan keadaan berkabung, sedangkan pesta pernikahan adalah sukacita.
Di sini, Yesus mengumpamakan diri-Nya sebagai mempelai laki-laki untuk melambangkan kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Ketika Yesus hadir, ada kesukaan dan perayaan, bukan perkabungan. Itulah sebabnya murid-murid Yesus tidak berpuasa. Tetapi, ini bukan berarti Yesus menolak tradisi berpuasa. Yesus hanya membedakan kapan tradisi itu dilakukan dan kapan tidak. Kata Yesus, “waktunya akan datang, ketika mempelai itu diambil dari antara para murid, pada waktu itulah mereka akan berpuasa” (ay. 20).
Perkataan Yesus ini sesungguhnya menyoroti dua kelompok yang saat itu sedang melakukan puasa, yaitu: murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi. Mengapa mereka berpuasa? Orang Farisi berpuasa karena mereka menjalankan tradisi; sementara para murid Yohanes (menurut penafsiran) mungkin berpuasa karena mereka sedih atas penangkapan Yohanes. Atau mereka ikut-ikutan orang Farisi, atau bisa juga karena mereka meneladani Yohanes sebagai gurunya (Mat. 11:18). Inilah kekeliruannya. Kita berpuasa bukan sekadar berdasarkan pada suatu kebiasaan, tradisi atau ikut-ikutan. Berpuasa memerlukan penghayatan yang jelas, sebab berpuasa itu berasal dari hati, ada tujuan dan kebutuhan.
Pemahaman inilah yang juga harus ada dalam diri kita sebagai anak Tuhan. Kita tidak seharusnya melakukan puasa atau ritual keagamaan lain, hanya berdasarkan tradisi dan ikut-ikutan, melainkan harus melakukannya dengan penuh kesungguhan hati dan penghayatan yang jelas. Sebab Tuhan melihat apa yang ada di dalam hati kita, bukan melihat dari luar.
STUDI PRIBADI: Bagaimana sikap hati kita dalam menjalani puasa atau ritual keagamaan lainnya selama ini? Apakah ada tradisi atau kebiasaan yang masih kita pegang sampai hari ini yang tidak sesuai kebenaran Firman Tuhan?
Pokok Doa: Berdoalah, mohonlah ampun kepada Tuhan atas sikap hati kita yang salah dalam melakukan puasa atau ritual keagamaan lainnya.
Markus 2 : 18-20
18 Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: "Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?"
19 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.
20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.
1 Samuel 31 : 13
13 Mereka mengambil tulang-tulangnya lalu menguburkannya di bawah pohon tamariska di Yabesh. Sesudah itu berpuasalah mereka tujuh hari lamanya.
2 Samuel 1 : 12
12 Dan mereka meratap, menangis dan berpuasa sampai matahari terbenam karena Saul, karena Yonatan, anaknya, karena umat TUHAN dan karena kaum Israel, sebab mereka telah gugur oleh pedang.
Matius 6 : 16
16 "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
Markus 2 : 20
20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.
Matius 11 : 18
18 Karena Yohanes datang, ia tidak makan, dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan.